Sunday 25 May 2008

Informal place in capital-based place making

Gathering- place is a common feature in the most asian communal type of space. We can trace this feature from Austronesian architecture such as mentawai architecture to more-developed one like traditional Javanese and Balinese architecture. these architectures exhibits a distinct character of public place from European one. European organized private and public place in inside and outside manner.

Public place where people is gathered and does informal activity such as chatting, walking, jogging, even maybe picnic are placed outside off residential place. There is always a clear boundary between outside and inside; public and private; informal and formal in European places. Such type of place organization is traditionally uncommon in Asia.

There are some resemblance in a broad sense in japanese, javanese, and Balinese architecture in their spatial organization. These architectures have a different paradigm to define formal and informal place in their way of place-making.

Warung, as indonesian call it, is a traditional informal place where people gathers, having breakfast, chatting, drink coffee and tea or even buying everyday things. These places are scattered and flourished in Indonesia and still persistently exist until today.

Nowadays informal place has become a large capital industry. Starbuck are now everywhere at least in big cities in Java. Starbuck, Coffebean, Gloriajeans, etc are actually replicating, may not be deliberately, warung in terms of its place making concept.


David Hutama
------------------------
dehistory.blogspot.com
pendekatandesainarsitektur.blogspot.com

Logika kota

Istilah yang dipinjam dari rekan saya dennis ini mencoba mengemukakan/ menjelaskan fenomena keunikan dari perilaku sebuah kota. Bahwa tiap kota mempunyai caranya sendiri-sendiri untuk bergerak maju dalam lorong waktu. Cara jakarta tentu berbeda dengan bandung atau semarang dan surabaya. Kata 'berbeda' rasanya memang lebih tepat digunakan bila membahas wacana kota karena maknanya yang memberi ruang untuk kenetralan, tidak lebih baik atau lebih buruk.

Kontribusi terbesar dari budaya postmoderen adalah terhapusnya makna marjinalisasi dalam kata 'beda', kalaupun belum sepenuhnya terhapus paling tidak upaya untuk itu ada dan kuat. Merayakan perbedaan adalah buah postmoderen. Dengan menggunakan kacamata ini kita akan terbantu untuk mengambil jarak agar mendapatkan ruang pandang yang cukup untuk membaca kota.

Tanggal 1 februari 2008 lalu jakarta dilanda banjir lagi. Walaupun tidak separah banjir tahun 2007 lalu namun tetap saja cukup menggoncang kehidupan kota. Daerah grogol adalah satu tempat yang tiap kali mengalami kebanjiran. Daerah ini tidak mengenal kecil-besarnya hujan atau kecil-besarnya banjir karena tidak ada pengaruhnya pada kondisi mereka.

Pada kebanjiran barusan ini memang tampak bagaimana kota sebagai sesuatu yang organik, sesuatu yang mempunyai daya juang dan daya tahan menghadapi berbagai fenomena. Kebanjiran tidak menyebabkan kemuraman kota tapi seakan sebagai bagian dari kehidupan. Jarang ada yang terlihat sedih atau kesusahan malah lebih banyak yang memanfaatkan
kondisi ini sebagai sarana 'rekreasi' atau 'berdagang'.

Memang ada pepatah selalu ada yang mendapatkan keuntungan dari kemalangan orang lain dan rasanya pepatah ini menjadi tidak tepat untuk kota jakarta. Kemalangan dan keuntungan menjadi nilai yang sangat labil dan relatif. Kegiatan-kegiatan menaikan harga jasa pada situasi
seperti banjir kemarin menjadi sulit untuk dinilai baik buruknya karena jangan2 memang demikian logika kota jakarta.

Saya bukan hendak mengatakan bahwa oleh karena logika seperti itu maka kita tidak usah berbuat apa2. Saya juga bukan hendak mengatakan bahwa itu adalah baik atau buruk. Saya hendak mengatakan bahwa sulit atau bahkan tidak layak untuk menilai sesuatu hanya dari sebuah perbedaan. Pahami dulu logika kota, baca kemauannya, dan perbaiki secara radikal.
Saya percaya bahwa tiap kota mempunyai dorongan hidup yang unik dan hal inilah yang harus dipahami.


Sent from my iPod

Thursday 22 May 2008

Kota vertikal, kampung horisontal

Belakangan ini muncul fenomena membangun sebuah lingkung bina yang 'melayang'. Apa yang maksud dengan melayang disini adalah perletakan lantai dasar linkung bina ini ke level yang lebih tinggi dari level tanah.

Paling tidak ada dua alasan yang menyebabkan munculnya fenomena ini. Pertama adalah berkembangnya gaya hidup yang menganut kepraktisan dengan jargonnya "...in one" dan ketidakinginan masyarakat (terutama masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas untuk menjauh dari 'pusat kota'. Terpenuhinya dua hal ini seakan dapat mempengaruhi atau menaikkan status sosial mereka.

Melihat ini para pengembang merumuskan strategi dan gimmick baru. Strategi baru ini tidak lain adalah pengembangan dari strategi mix-used building-menyatukan berbagai program didalam satu bangunan. Bedanya pada strategi baru ini program yang di`campur` adalah program yang memiliki kepadatan relatif tinggi. Bukan lagi tempat makan plus tempat belanja namun mal plus perumahan.

Hal ini akan memunculkan masalah kepadatan baru. Masalah kepadatan yang tidak lagi terlihat terkonsentrasi secara horisontal melainkan horisontal dan vertikal. Dan yang palng harus diawasi adalah masalah kepadatan ini akan lebih tidak kasat mata karena terbungkus oleh kulit bangunan.

Pemerintah sebagai pemegang kebijaksanaan perencanaan kota harus tanggap dengan kondisi ini. Cara mengamati dan strategi perencanaan kota harus segera diubah untuk menyikap fenomena ini. Strategi pengembangan seperti diatas akan mempercepat kenaikan kepadatan berkali-kali lipat yang sulit diimbangi dengan infrastruktur kota disekitarnya.

Apakah ramalah winny Mass dalam KM3 tentang universal city akan menjadi kenyataan?